Transparansi di Balik Tirai: Teka-Teki Dana Publikasi dan Sekat Pers di BPR Banjarharjo
BREBES, DN-II Praktik pengelolaan anggaran publikasi di lingkup Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kini tengah berada di bawah mikroskop publik. Kasus penyerahan dana publikasi oleh Bank BPR Banjarharjo kepada Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) memicu perdebatan serius mengenai batas antara prosedur birokrasi, transparansi anggaran, dan etika kebebasan pers. (18/12/2025).
Aliran Dana yang Terkunci Label “Rahasia”
Dalam sebuah wawancara eksklusif, Humas Bank BPR Banjarharjo, Lukman, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menyerahkan sejumlah dana kepada Dinkominfo sebagai biaya publikasi kegiatan. Namun, langkah ini menyisakan tanda tanya besar terkait akuntabilitas.
Lukman menyatakan bahwa besaran nilai dana tersebut dikategorikan sebagai informasi rahasia atas perintah langsung Direktur Utama, Abdilah.
Secara birokrasi, menggandeng Dinkominfo adalah langkah lazim bagi BUMD untuk menyinergikan narasi pembangunan. Namun, pemberian label “rahasia” pada nominal anggaran publikasi justru memicu spekulasi negatif. Sebagai institusi yang mengelola dana publik, transparansi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban konstitusional.
Eksklusivitas Media: Strategi Citra atau Pembungkaman?
Hal lain yang menjadi sorotan tajam adalah kebijakan pembatasan peliputan. Manajemen BPR Banjarharjo menegaskan tidak ada instruksi peliputan bagi wartawan umum; hanya media yang masuk dalam daftar “undangan eksklusif” yang diperkenankan meliput.
Kebijakan “Wartawan Khusus” ini membawa dampak sistemik:
Pengendalian Narasi: Institusi hanya membuka pintu bagi media yang dianggap “aman”, sehingga potensi kritik diredam sejak dini.
Hambatan Check and Balances: Media independen kehilangan akses untuk melakukan verifikasi objektif atas kegiatan yang dibiayai uang negara/daerah.
Risiko Bias Informasi: Masyarakat hanya menerima informasi satu arah yang berpotensi menjadi sekadar corong pencitraan lembaga.
Analisis Hukum: Menabrak Aturan Keterbukaan?
Pengelolaan dana publikasi dan pembatasan akses media bukanlah wilayah tanpa aturan. Tindakan menutup informasi anggaran ini berisiko berbenturan dengan tiga instrumen hukum utama:
Dasar Hukum Relevansi Kasus
UU No. 14 Tahun 2008 (KIP) Sebagai BUMD, BPR adalah badan publik. Menetapkan anggaran sebagai “rahasia” tanpa uji konsekuensi melanggar hak masyarakat atas informasi.
UU No. 40 Tahun 1999 (Pers) Pasal 4 menjamin hak pers mencari informasi. Pembatasan akses tanpa alasan hukum dapat dipandang sebagai upaya menghambat tugas jurnalistik.
PP No. 12 Tahun 2019 Setiap rupiah dana BUMD harus akuntabel. Kerjasama dengan Dinkominfo harus berbasis MoU yang jelas, bukan sekadar instruksi lisan pimpinan. 
Rekomendasi: Mengembalikan Marwah Good Governance
Untuk memulihkan kepercayaan publik, BPR Banjarharjo perlu segera melakukan langkah korektif:
Deklasifikasi Anggaran: Membuka angka alokasi biaya publikasi. Transparansi anggaran adalah bukti bahwa tidak ada penyimpangan (mark-up) atau penyalahgunaan wewenang.
Inklusivitas Media: Menghentikan praktik diskriminasi terhadap media umum. Pers adalah mitra, bukan ancaman yang harus dipilah-pilih.
Audit Kolaboratif: Memastikan setiap dana yang diserahkan ke Dinkominfo memiliki Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang sinkron dengan output publikasi.
Reformasi Fungsi Humas: Humas harus bertindak sebagai fasilitator informasi, bukan sekadar penjaga pintu (gatekeeper) yang menutup akses informasi publik.
Reputasi perbankan dibangun di atas fondasi kepercayaan (trust). Menutup-nutupi nilai anggaran publikasi dan membatasi peliputan justru akan meruntuhkan kredibilitas yang sedang dibangun. Tanpa transparansi yang radikal, institusi ini berisiko kehilangan aset terpentingnya: Kepercayaan masyarakat.
Reporter: Teguh
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
