Filosofi Membumi: Rahasia Bahagia di Tengah Dunia yang Memuja Materi
Oleh: Casroni Kamis, 18 Desember 2025
DETIK-NASIONAL.COM II Perjalanan hidup manusia jarang sekali menyerupai garis lurus yang mudah ditebak. Ia lebih sering tampak seperti labirin penuh teka-teki, karena sejatinya tidak ada yang abadi di bawah langit ini. Dalam pandangan Al-Qurโan, dunia hanyalah mataโul ghurur atau kesenangan yang memperdaya (QS. Ali Imran: 185).
Di tengah bisingnya dunia yang memuja materi, tantangan sering kali datang tanpa mengetuk pintu. Kualitas sejati seorang manusia justru tidak diuji saat ia berada di titik nadir, melainkan ketika ia berdiri di puncak pencapaian. Di sinilah relevansi pepatah Jawa, “Ojo dumeh” (jangan mentang-mentang), menjadi pengingat agar kita tidak silau oleh ketinggian posisi.
Jebakan Ego dan Esensi Syukur
Sering kali, embusan angin keberhasilan membuat kita lupa berpijak pada bumi. Padahal, Allah SWT telah mengingatkan: โDan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong…โ (QS. Al-Isra: 37). Secara eksistensial, tidak ada ruang bagi kesombongan di semesta yang luas ini.
Dalam kearifan Jawa, ini disebut sebagai sikap Eling lan Waspada. Eling berarti sadar akan asal usul (sangkan paraning dumadi) bahwa segala titipan akan kembali pada-Nya, dan Waspada berarti berhati-hati terhadap tipu daya nafsu pribadi. Kekayaan sejati adalah ketika keberadaan kita mampu menghadirkan kemaslahatan bagi sesamaโsebuah manifestasi dari prinsip Memayu Hayuning Bawana (memperindah keindahan dunia).
Kemanusiaan Tanpa Sekat: Melawan Arus Arrogansi
Dalam struktur sosial modern, ada godaan besar untuk mengukur derajat manusia berdasarkan harta. Namun, merendahkan sesama adalah bentuk ketidaktahuan atas kuasa Tuhan yang Maha Membolak-balikkan keadaan (Ya Muqallibal Qulub).
Primbon Jawa menggambarkan kehidupan seperti Cakra Manggilinganโroda yang terus berputar. Siapa yang hari ini di atas, esok bisa di bawah. Oleh karena itu, menaruh hormat kepada siapa pun tanpa memandang kasta adalah cermin kemuliaan akhlak. Di mata keabadian, kita hanyalah peziarah yang hanya akan membawa bekal amal dan ketulusan.
Menjemput Takdir dengan ‘Active Surrender’
Sebagai manusia, kita harus memahami batasan diri. Ada wilayah ikhtiar (usaha), namun ada pula ranah tawakkal (kepasrahan). Dalam tradisi Jawa, kita mengenal konsep Pinasti, yaitu ketetapan yang tidak bisa dielakkan. Memahami empat ketetapan dasar akan membuat langkah terasa lebih ringan:
Rezeki: Yang mengalir melalui pintu tak disangka (QS. At-Talaq: 3).
Jodoh & Pertemuan: Garis pertemuan yang telah diatur oleh presisi waktu semesta.
Hidup & Maut: Misteri absolut yang tidak dapat dimajukan maupun ditunda (QS. Al-A’raf: 34).
Kesadaran ini bukanlah keputusasaan, melainkan bentuk kepasrahan yang aktif. Kita bekerja keras, namun tidak mendikte hasil. Inilah yang disebut dalam falsafah Jawa sebagai “Narimo ing Pandum”โmenerima dengan ikhlas apa yang diberikan Tuhan setelah usaha maksimal dilakukan.
Penutup: Warisan Jejak Kebaikan
Makna hidup yang sesungguhnya bukanlah tentang memenangkan kompetisi, melainkan tentang bagaimana kita berdamai dengan ketetapan-Nya. Di tengah krisis integritas saat ini, menjaga lisan adalah kunci. Jangan sampai kita mengumbar janji manis yang hanya menjadi selubung kebohongan, karena setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban.
Tugas kita sederhana: berikhtiar dengan totalitas, tetap membumi dalam kerendahan hati, dan terus menebar manfaat. Sebab pada akhirnya, kita akan diingat bukan karena jabatan, melainkan karena jejak kebaikan dan kejujuran yang kita tanam di hati orang lain. Sebagaimana pesan luhur: “Urip iku urup”โhidup itu hendaknya memberi cahaya bagi sekitar.
Opini:
Oleh: Casroni / Kamis, 18 Desember 2025
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
