BUNGO, DN-II Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Bungo semakin berani menunjukkan eksistensinya. Seolah kebal hukum, sedikitnya lima unit rakit dompeng terpantau bebas beroperasi tepat di pinggir jalan lintas yang merupakan urat nadi transportasi Provinsi Jambi.
Aktivitas yang berlokasi di kawasan Simpang Empat Tanjung Menanti ini telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir. Berdasarkan pantauan lapangan hingga Minggu (21/12/2025), para pelaku secara terbuka mengoperasikan mesin dompeng untuk menyedot tanah, yang tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengancam integritas struktur jalan nasional.
Landasan Hukum dan Pelanggaran
Aktivitas ini bukan sekadar isu sosial, melainkan tindak pidana murni yang melanggar berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 (Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara)
Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin resmi (IUP, IPR, atau IUPK) dapat dijerat dengan Pasal 158 yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
Penggunaan merkuri dan perusakan bentang alam tanpa izin lingkungan melanggar Pasal 98 ayat (1) terkait perusakan lingkungan hidup, dengan ancaman pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun, serta denda hingga Rp10 miliar.
3. Regulasi Terkait Lahan Pribadi
Meskipun aktivitas dilakukan di atas tanah pribadi, pemilik lahan tetap terikat pada aturan bahwa kekayaan alam di bawah tanah dikuasai oleh negara. Pemilik lahan yang membiarkan atau menyewakan tanahnya untuk aktivitas ilegal dapat dianggap turut serta dalam tindak pidana (Penyertaan) sesuai Pasal 55 KUHP.
Analisis Kritis: Tamparan bagi Penegakan Hukum
Keberadaan PETI di Tanjung Menanti ini mencerminkan kondisi kritis yang memerlukan perhatian segera karena tiga alasan utama:
Hilangnya Wibawa Aparat: Operasi yang dilakukan di tepi jalan lintas utama menunjukkan bahwa pelaku tidak lagi merasa perlu “bersembunyi”. Hal ini mengindikasikan melemahnya fungsi pengawasan dan penegakan hukum di wilayah hukum Kabupaten Bungo.
Ancaman Infrastruktur Negara: Lokasi yang sangat dekat dengan akses jalan nasional mengancam stabilitas struktur tanah. Risiko abrasi dan longsor akibat penggalian liar ini berpotensi memutus akses logistik provinsi, di mana biaya perbaikannya akan jauh melebihi nilai ekonomi emas yang dihasilkan.
Penyalahgunaan Hak Atas Tanah: Dalih “tanah pribadi” seringkali menjadi tameng. Namun secara hukum, setiap usaha pertambangan wajib memiliki izin lingkungan dan izin usaha yang ketat guna memastikan keberlanjutan alam bagi masyarakat luas, bukan hanya keuntungan segelintir oknum.
Desakan Tindakan
Pemerintah Kabupaten Bungo dan Kepolisian Resor (Polres) Bungo didesak untuk segera melakukan inspeksi mendadak (sidak) dan tindakan represif berupa penutupan lokasi serta penyitaan alat kerja. Pembiaran terhadap aktivitas yang kasat mata ini akan menjadi preseden buruk yang menyuburkan praktik serupa di lokasi lain.
Negara tidak boleh kalah oleh oknum perusak lingkungan. Ketegasan aparat dinanti sebelum akses jalan lintas tersebut benar-benar runtuh akibat kerakusan penambang ilegal.
Tim Redaksi Prima
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
