BREBES, DN-II Musibah hidrologis datang silih berganti. Dari skala nasional di Aceh dan Sumatera, hingga skala lokal di Bumiayu dan objek wisata Guci. Polanya hampir serupa: deforestasi di hulu, curah hujan tinggi, lalu berakhir pada longsor atau banjir. Fenomena ini bukan sekadar faktor alam, melainkan alarm keras bagi tata kelola ruang dan infrastruktur kita. (23/12/2025).
Titik Krusial di Lereng Slamet
Di Kecamatan Sirampog, terdapat “titik kuning” yang krusial. Wilayah ini adalah daerah imbuhan air (ground water recharge) bagi Cekungan Air Tanah (CAT) Brebes dan Tegal. Sebagai wilayah tangkapan air dari lereng Gunung Slamet, kelestarian Sirampog adalah harga mati bagi ketersediaan air di pantura.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya mix-use atau tumpang tindih peruntukan lahan. Wilayah yang seharusnya menjadi fungsi lindung justru tergerus oleh aktivitas budidaya yang tidak terkendali.
Mandat Undang-Undang vs Realita Anggaran
Secara regulasi, UU Sumber Daya Air telah membagi wewenang secara hierarkis. Pemerintah Kabupaten Brebes, misalnya, memiliki mandat melalui Perda Tata Ruang untuk membagi wilayah: utara untuk industri dan selatan untuk konservasi serta pertanian.
Masalahnya, niat baik dalam regulasi seringkali layu di tingkat aksi dan pembiayaan. Data menunjukkan kerusakan infrastruktur air mencapai 70% dari kondisi yang ada. Hal ini mengindikasikan bahwa alokasi APBD belum sepenuhnya berpihak pada ketahanan ekologis.
Belajar dari “Design with Nature”
Ian McHarg dalam bukunya Design with Nature mengajarkan kita untuk “membaca” rona bumi sebelum membangun. Kita harus bertanya: apa yang dibangun dan di mana dibangun?
Di Indonesia, dokumen tata ruang seringkali hanya menjadi syarat administratif legal-formal. Kita memiliki peta, namun jarang melakukan teknik superposisi (tumpang tindih peta tematik) secara detail untuk menentukan kesesuaian lahan. Akibatnya, kita membangun di tempat yang salah, lalu menyalahkan “alam” saat bencana terjadi.
Tragedi Bendung Congkar dan Politik Infrastruktur
Salah satu contoh nyata adalah kondisi Bendung Congkar di perbatasan Bumiayu dan Bantarkawung. Para petani menjerit karena kesulitan air. Secara teknis, air seharusnya mengalir di atas bendung, namun kenyataannya terjadi lubang (growong) sedalam 3 meter lebih.
Kondisi ini membawa kita pada konsep Programmatic Politics. Pembangunan infrastruktur seharusnya tidak hanya menjadi komoditas politik saat pemilu, tetapi harus menjadi layanan publik yang berkelanjutan tanpa memandang peta dukungan suara.
Neil S. Grigg mengingatkan bahwa integritas infrastruktur harus dikelola dari “buaian hingga liang lahat” (from cradle to grave). Artinya, membangun saja tidak cukup. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pemeliharaan adalah satu kesatuan. Usia teknis bangunan air yang disyaratkan minimal 50 tahun mustahil tercapai jika kita hanya “pandai membangun tapi tidak pandai merawat.”
Menuju Literasi Ekologis
Menyelesaikan krisis air dan bencana hidrologi memerlukan Literasi Ekologis. Ini adalah kesadaran bahwa pembangunan kota dan infrastruktur harus menghubungkan budaya dengan alam.
Infrastruktur air bukan sekadar tumpukan beton, melainkan urat nadi kehidupan. Jika kita terus abai dalam merancang dan memelihara hubungan dengan alam, maka degradasi lahan yang diprediksi akan menghabiskan lapisan tanah subur dalam 150 tahun ke depan bisa terjadi lebih cepat dari yang kita duga.
Abdullah sungkar ahli planologi dan arsitektur
Reporter: Teguh
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
