OPINI: Fenomena “Halu”, Mekanisme Pertahanan Diri atau Jebakan Delusi?
Paradoks Dunia “Halu”: Mengapa Kita Gemar Membangun Istana Pasir?
Oleh: Casroni/Redaksi / 24 Desember 2025.
Detik-nasional.com II Di era digital yang serba cepat, istilah “halu”โakronim dari halusinasiโtelah mengalami pergeseran makna yang drastis. Dahulu, ia adalah terminologi medis serius untuk menggambarkan gangguan persepsi. Kini, “halu” menjelma menjadi label sosial bagi siapa saja yang berani bermimpi melampaui realitasnya.
Namun, fenomena ini sering kali menjadi manifestasi dari peribahasa klasik: “Tong kosong nyaring bunyinya.” Dari sekadar membayangkan berjodoh dengan idola K-Pop hingga memoles narasi kekayaan semu di media sosial, “halu” telah menjadi gaya hidup yang bising namun hampa. Pertanyaan besarnya: Mengapa masyarakat modern begitu gemar menghuni ruang imajiner? Apakah ini bentuk kreativitas, atau justru sinyal kesehatan mental kolektif yang kian rapuh?
Katarsis di Tengah Tekanan Hidup
Realitas sering kali menawarkan getir. Beban ekonomi yang menghimpit, tuntutan karier yang tak ada habisnya, hingga ketidakpastian masa depan memaksa otak mencari “pintu keluar” darurat. Dalam kacamata psikologi, berimajinasi atau “halu” ringan sering kali berfungsi sebagai mekanisme koping (coping mechanism).
Saat seseorang membangun skenario indah dalam benaknya, otak melepaskan dopaminโsenyawa kimia yang memberikan rasa bahagia instan. Dalam konteks ini, “halu” adalah cara alami manusia untuk rehat sejenak dari penatnya dunia. Ia menjadi ruang aman (safe space) di mana seseorang bisa menjadi apa saja tanpa takut dihakimi oleh ekspektasi sosial yang mencekik.
Efek Cermin Retak Media Sosial
Media sosial menjadi katalisator utama fenomena ini. Algoritma menyuguhkan standar hidup yang terkurasi sempurna, memicu apa yang disebut dengan Parasocial Relationship. Kita merasa mengenal dekat seorang publik figur hanya karena melihat aktivitas mereka setiap detik di layar ponsel.
Batas antara “penggemar” dan “kerabat” menjadi kabur. Hal ini membuat banyak individu terjebak dalam delusi bahwa mereka memiliki ikatan emosional nyata dengan sosok yang bahkan tidak mengenal nama mereka. Media sosial bukan lagi sekadar jendela dunia, melainkan cermin retak yang membiaskan realitas; menciptakan standar semu yang bising di permukaan namun kosong di substansi.
Manifestasi vs Delusi Tanpa Aksi
Secara psikologis, ada garis tipis yang memisahkan antara manifestasi dan delusi. Visualisasi sebenarnya adalah alat motivasi yang kuat; membayangkan kesuksesan dapat memicu semangat untuk mencapainya secara konkret.
Namun, “halu” berubah menjadi toksik ketika ia berhenti pada lamunan tanpa disertai aksi nyata. Inilah titik di mana “tong kosong” itu mulai berbunyi nyaring. Tanpa usaha, imajinasi hanyalah cara untuk menipu diri sendiri agar merasa telah “sampai” ke tujuan tanpa pernah benar-benar melangkah. Ini adalah bentuk eskapisme yang melumpuhkan produktivitas. Narasi dibangun setinggi langit, namun hampa akan realisasi. 
Kompensasi Atas Rasa Sepi
Kesepian adalah epidemi tersembunyi di abad ini. Di tengah ribuan pengikut di dunia maya, banyak individu justru merasa kosong secara emosional. Menciptakan skenario di mana dirinya menjadi pusat perhatian atau dicintai secara luar biasa adalah bentuk kompensasi atas kurangnya validasi dan kasih sayang di dunia nyata. “Halu” menjadi pelukan imajiner bagi jiwa-jiwa yang haus akan pengakuan namun enggan menghadapi interaksi nyata yang rumit.
Kesimpulan
Berimajinasi adalah hak asasi setiap manusia. Ia adalah bumbu yang membuat hidup tidak terasa hambar. Namun, kita harus ingat bahwa imajinasi seharusnya menjadi kompas untuk melangkah di dunia nyata, bukan tempat tinggal tetap untuk bersembunyi.
Sebab, pada akhirnya, seindah apa pun ruang imajiner yang kita bangun, hidup hanya benar-benar terjadi saat kaki kita berpijak di atas tanah realitas. Menetap dalam “halu” tanpa pernah kembali bukan lagi sekadar hiburan, melainkan bentuk kehilangan jati diri yang paling sunyi. Jangan biarkan hidup kita hanya menjadi “tong kosong” yang nyaring dengan narasi, namun sunyi dari prestasi nyata.
Red
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
