BREBES, DN-II Gemericik air sungai yang mengalir tenang sering kali diibaratkan sebagai gambaran surga di bumi. Namun, realitas di lapangan kerap berbicara sebaliknya. Alih-alih menjadi sumber kehidupan, sungai yang tersumbat sampah dan gulma justru bertransformasi menjadi ancaman bencana saat musim penghujan tiba.
Menyikapi hal tersebut, ratusan warga Kelurahan Limbangan Wetan, Kecamatan Brebes, menggelar aksi gotong royong besar-besaran untuk menormalisasi aliran Kali Sigeleng pada Selasa (23/12/2025).
Landasan Iman dalam Melestarikan Alam
Kegiatan dimulai dengan khidmat melalui pembacaan Surah Al-Buruj ayat 11 oleh seorang siswa setempat. Ayat tersebut menegaskan janji Tuhan bahwa balasan bagi orang beriman adalah surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Pesan langit ini menjadi pemantik semangat warga sebelum terjun ke dalam lumpur.
Tokoh masyarakat setempat, H. Mahfudin, dalam orasi motivasinya menyampaikan pesan mendalam mengenai kaitan erat antara ekologi dan spiritualitas. Ia menekankan bahwa menjaga kebersihan sungai bukan sekadar urusan kebersihan, melainkan manifestasi nyata dari iman.
“Al-Qur’an telah menginformasikan sejak 1.400 tahun lalu bahwa sungai yang mengalir adalah simbol kenikmatan surga. Maka, sebelum kita menjemput surga di akhirat, mari kita hadirkan ‘surga’ di dunia dengan menjaga sungai tetap bersih dan mengalir. Setuju?” ujar H. Mahfudin yang disambut seruan kompak “Setuju!” dari warga.
Beliau juga mengingatkan bahwa terdapat puluhan ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia menjaga keseimbangan alam. “Jika sungai tersumbat sampah dan eceng gondok, yang hadir adalah ‘neraka’ dunia—penderitaan akibat banjir, hilangnya harta benda, hingga wabah penyakit,” tambahnya.
Dari Simfoni Rindu Menuju Alarm Bencana
Jika dahulu hujan dianggap sebagai personifikasi rindu yang menenangkan, kini persepsi itu telah bergeser bagi masyarakat di bantaran sungai. Tak ada lagi simfoni rintik yang syahdu; yang tersisa hanyalah kecemasan mendalam setiap kali awan hitam menggelayuti langit Brebes.
Kondisi Kali Sigeleng memang memprihatinkan. Aliran air yang berwarna cokelat keruh membawa material lumpur pekat, menandakan adanya degradasi ekosistem di bagian hulu. Saat drainase dan badan sungai tersumbat oleh tumpukan sampah plastik serta rimbunnya eceng gondok, air kehilangan “jalan pulang” menuju Laut Jawa. Dampaknya, air meluap dan menginvasi pemukiman warga.
Belajar dari Tragedi dan Kesadaran Kolektif
Aksi gotong royong ini dipicu oleh kesadaran kolektif warga akan ancaman banjir tahunan. Masyarakat mulai menyadari bahwa alam memiliki cara sendiri untuk “menegur” kelalaian manusia. Tragedi banjir di berbagai daerah menjadi pelajaran berharga bahwa air yang terhambat jalannya akan mencari jalannya sendiri, meski harus menerjang rumah dan lahan pertanian.
Banjir tidak hanya merusak ruang privat warga dan membawa kerugian materiil yang besar, tetapi juga menjadi trauma psikologis bagi anak-anak dan lansia.
Gotong Royong: Menjemput Keselamatan Bersama
Bahu-membahu, warga menggunakan peralatan seadanya hingga alat berat untuk membersihkan massa eceng gondok yang menutup permukaan sungai. Upaya ini bukan lagi sekadar kegiatan seremonial atau gugur kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan eksistensial demi kelangsungan hidup bersama.
Dengan normalisasi fungsi hidrologis Kali Sigeleng, warga berharap setiap tetes hujan yang jatuh tidak lagi menjadi momok menakutkan, melainkan kembali menjadi berkah yang menyuburkan bumi Brebes.
Reporter: Teguh
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
