YOGYAKARTA, DN-II Riuh rendah Pasar Beringharjo, Yogyakarta, menyimpan kisah perjuangan para pedagang yang telah puluhan tahun menggantungkan hidup di sana. Salah satunya adalah Ibu Intan (52), pedagang yang telah berjualan di Jalan Gedongkiwo 24 selama lebih dari 20 tahun. (8/12/2025).
Ditemui di lapaknya, Ibu Intan mengisahkan perubahan drastis kondisi pasar dibandingkan dua dekade lalu. Jika dulu Beringharjo selalu disesaki pembeli dari seluruh penjuru Indonesia, kini situasinya jauh berbeda.
Gempuran Online dan Pasca-Pandemi
Menurut Ibu Intan, penurunan omzet yang ia rasakan dipicu oleh dua faktor utama: maraknya perdagangan daring (online) dan dampak berkepanjangan pandemi COVID-19.
“Dulu ramai sekali, sekarang jauh beda. Saingannya banyak, terutama pengaruh online,” keluh Ibu Intan. Ia menambahkan bahwa harga di platform online sangat bersaing, sehingga membuat pasar fisik makin sepi pengunjung. “Pasca-COVID dampaknya kerasa banget, pembeli belum pulih seperti dulu.”
Strategi Bertahan: Sabar dan Telaten
Menghadapi situasi yang sulit, Ibu Intan mengaku tidak memiliki strategi khusus selain menjaga kesabaran. “Strateginya ya harus sabar dan telaten,” ujarnya singkat.
Penurunan jumlah pembeli juga berdampak pada operasional lapaknya. Jika dulu ia mungkin memiliki lebih banyak bantuan, kini ia hanya dibantu oleh satu orang karyawan. Koleksi dagangannya pun tetap ia pertahankan selengkap mungkin untuk menarik minat pelanggan, mulai dari:
Daster dan Sprei.
Mukenah dan Taplak Meja.
Kemeja dan Sarung Batik.
Blangkon.
Harga yang ditawarkan pun sangat terjangkau, berkisar antara Rp25.000 hingga Rp100.000-an, tergantung pada kualitas bahan.
Beban Biaya di Tengah Sepi
Meskipun omzet tidak menentu, Ibu Intan tetap harus memenuhi kewajiban membayar retribusi pasar. Biaya tersebut dibayarkan secara harian sebesar kurang lebih Rp1.600. Sistem pembayarannya pun sudah mengikuti perkembangan zaman, di mana pengelola pasar menyediakan opsi pembayaran melalui QRIS maupun tunai.
Ibu Intan, yang statusnya kini sebagai penyewa lapak milik bosnya, berharap agar kondisi pasar tradisional bisa kembali pulih. Baginya, Beringharjo bukan sekadar tempat mencari nafkah, melainkan saksi bisu perjalanan hidupnya selama 20 tahun terakhir.
Red/Teguh
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
