JAKARTA, DN-II Surat Edaran (SE) Nomor 14 Tahun 2025 yang diterbitkan oleh Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN memicu gelombang pro dan kontra. Kebijakan yang menginisiasi “Gerakan Ayah Mengambil Rapor” ini menuai kritik tajam karena dianggap mengabaikan realitas keberagaman struktur keluarga di Indonesia.
Kritik Tajam: Kebijakan Dianggap Kurang Fleksibelย (18/12/2025).
Suara penolakan salah satunya datang dari Dedy Rohman, perwakilan Lembaga Analisis Data dan Kajian Kebijakan Publik (Landep) Bersuara. Ia mendesak pemerintah untuk meninjau ulang atau merevisi aturan tersebut karena berpotensi memberikan tekanan psikologis bagi anak-anak dengan kondisi keluarga tidak utuh.
“Aturan ini seharusnya bersifat fleksibel. Penjemputan rapor sebaiknya diserahkan kepada kesiapan keluarga masing-masing, bukan dipatok pada figur tertentu. Jangan sampai kebijakan dibuat tanpa melihat kenyataan sosiologis di lapangan,” ujar Dedy dalam keterangan resminya. 
Pihak pengkritik menggarisbawahi bahwa tidak semua anak memiliki kesempatan didampingi figur ayah karena berbagai faktor, di antaranya:
Anak yatim yang ditinggal wafat oleh ayah.
Ayah yang bekerja di luar kota atau luar negeri (pekerja migran/LDR).
Keluarga yang mengalami perceraian atau konflik rumah tangga.
Ayah yang sedang menjalani masa tahanan hukum.
Dampak Psikologis pada Siswa
Kebijakan yang kaku dikhawatirkan akan menimbulkan rasa rendah diri atau minder bagi siswa. Saat melihat teman sebaya hadir bersama ayah, siswa yang tidak memiliki figur ayah dikhawatirkan merasa teralienasi di lingkungan sekolah.
“Kita mendukung pembangunan karakter, namun jangan sampai metodenya justru melukai perasaan anak-anak yang kehilangan figur ayah. Kami meminta SE Nomor 14 Tahun 2025 ini segera direvisi agar lebih inklusif,” tegas Dedy.
Urgensi Mengatasi Fenomena ‘Fatherless’
Di sisi lain, BKKBN memiliki landasan kuat di balik terbitnya SE ini. Pemerintah berupaya mengatasi fenomena fatherless (minimnya keterlibatan ayah) di Indonesia yang angkanya cukup memprihatinkan.
Berdasarkan data Pemutakhiran Pendataan Keluarga (PK) 2025, tercatat sekitar 25,8% atau satu dari empat keluarga di Indonesia mengalami kondisi di mana ayah tidak terlibat secara emosional maupun fisik dalam pengasuhan. Pemerintah meyakini bahwa kehadiran fisik ayah di sekolah dapat meningkatkan motivasi belajar anak serta menekan angka perilaku berisiko pada remaja.
Menuju Solusi yang Inklusif
Meski tujuan pemerintah untuk memperkuat peran ayah dinilai positif, publik mendesak agar implementasi gerakan ini tidak bersifat kaku atau wajib. Masyarakat berharap pemerintah dapat memodifikasi narasi kebijakan tersebut menjadi “Gerakan Pendampingan Orang Tua/Wali”, sehingga tetap inklusif dan tidak diskriminatif terhadap latar belakang keluarga mana pun.
Reporter: Teguh
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
