PALEMBANG, DN-II Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Pemprov Sumsel) tengah menghadapi krisis likuiditas serius yang berdampak sistemik terhadap keuangan 17 kabupaten/kota di wilayahnya. Tunggakan penyaluran Belanja Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKBK) tahun anggaran 2024 mencapai angka fantastis, yakni Rp1.163.608.734.979,05.
Kondisi ini memicu efek domino yang mengancam kesehatan fiskal daerah, mulai dari risiko gagal bayar hingga penggunaan dana titipan untuk menutupi kewajiban jangka pendek. (18/12/2025).
Kondisi Kritis Kas Daerah Kabupaten/Kota
Berdasarkan hasil konfirmasi terhadap 13 Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) di kabupaten/kota terdampak, ditemukan empat indikator kerentanan keuangan yang mengkhawatirkan:
Pengurasan Kas Daerah: Enam daerah terpaksa menguras saldo kas internal untuk membayar pihak ketiga atas proyek yang seharusnya didanai oleh Pemprov.
Ledakan Utang Belanja: Sejumlah daerah mulai mencatatkan kewajiban ini sebagai Utang Belanja karena ketidakmampuan membayar pihak ketiga, menunggu kepastian transfer dari provinsi.
Penyimpangan Dana Terbatas: Sebanyak 13 kabupaten/kota terpaksa menggunakan kas yang dibatasi penggunaannya (dana titipan/peruntukan khusus) demi menjaga likuiditas jangka pendek.
Prediksi Gagal Bayar: Sebanyak 11 kabupaten/kota diprediksi akan mengalami kesulitan besar memenuhi kewajiban di akhir tahun 2024 akibat minimnya sisa saldo kas.
Pelanggaran Regulasi dan Tata Kelola
Krisis ini dinilai melanggar sejumlah instrumen hukum keuangan negara. Tim analisis menyoroti ketidakpatuhan terhadap UU No. 17 Tahun 2003 dan PP No. 12 Tahun 2019, di mana pengeluaran seharusnya hanya boleh dianggarkan jika ada kepastian ketersediaan dana.
Selain itu, pengalokasian BKBK ini dianggap tidak sejalan dengan Permendagri No. 15 Tahun 2023 dan Pergub Sumsel No. 3 Tahun 2022, yang mewajibkan pemberian bantuan keuangan harus mempertimbangkan kapasitas fiskal dan prioritas pelayanan dasar.
Akar Masalah: Perencanaan yang “Terlalu Optimis”
Hasil analisis mendalam mengungkapkan dua penyebab utama di balik kekosongan kas ini:
Overestimasi Pendapatan: Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dinilai tidak akurat dalam memproyeksi pendapatan, sehingga APBD disusun di atas pondasi ekonomi yang tidak realistis.
Kebijakan Pengalokasian: Gubernur menetapkan alokasi BKBK tanpa mempertimbangkan kondisi riil kemampuan keuangan daerah yang ada.
Dampak Jangka Panjang
Dampak dari krisis ini tidak hanya berhenti di tahun 2024. Kewajiban sebesar Rp1,16 triliun tersebut kini menjadi “bom waktu” bagi APBD tahun anggaran berikutnya. Tanpa sumber pendanaan yang jelas, beban fiskal tahun depan akan terkoreksi tajam dan berpotensi menghambat pembangunan di daerah.
Respon Pemerintah Provinsi
Menanggapi temuan ini, Gubernur Sumatera Selatan menyatakan menerima hasil pemeriksaan tersebut secara terbuka. Pihaknya berkomitmen menjadikan temuan ini sebagai bahan evaluasi fundamental untuk memperbaiki tata kelola keuangan daerah di masa mendatang agar lebih transparan dan akuntabel.
Tim Prima
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
