BREBES, DN-II Komitmen pelestarian hutan di lereng Gunung Slamet kembali diuji. Belum genap seminggu setelah aksi simbolis penanaman 1.000 pohon, lahan garapan liar baru justru kembali ditemukan di Petak 24 Hutan Lindung RPH Paguyangan, BKPH Paguyangan, Kabupaten Brebes.
Ironisnya, temuan ini muncul setelah 25 warga penggarap sebelumnya menandatangani surat kesanggupan untuk menghentikan aktivitas ilegal dan berkomitmen memulihkan fungsi hutan. Namun, saat relawan lingkungan GEMPAS Sijampang melakukan patroli pada Rabu (17/12/2025), mereka menemukan pemandangan miris: aktivitas penggarapan lahan masih berlangsung dan ribuan bibit pohon yang baru ditanam diduga sengaja dicabut atau dihilangkan.
Keprihatinan Pemerintah Daerah
Padahal, aksi penanaman tersebut melibatkan berbagai elemen penting, mulai dari Pemerintah Daerah (Pemda) Brebes, TNI-Polri, Perhutani, hingga relawan lintas komunitas. Tujuannya jelas, yakni memperkuat fungsi ekologis kawasan untuk mencegah bencana banjir dan longsor.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Brebes, Sodik, tak mampu menyembunyikan kekecewaannya saat dikonfirmasi pada Senin (22/12/2025).
“Saya sangat sedih mendengar kabar ini. Saya sendiri ikut turun langsung menanam di sana. Upaya kita memulihkan alam seolah tidak dihargai,” ungkap Sodik dengan nada getir.
Situasi ini menciptakan anomali yang pahit: Secara status, lahan tersebut adalah milik Perhutani. Namun, yang berinisiatif menanam adalah Pemda dan relawan, sementara yang akan menanggung dampak bencana (banjir) adalah masyarakat Brebes Selatan hingga wilayah Utara.
Sorotan Netizen: Ego Oknum vs Ancaman Bencana
Kabar rusaknya area konservasi ini memicu reaksi keras dari warganet. Banyak yang menyoroti kurangnya kesadaran oknum masyarakat dan lemahnya pengawasan di lapangan.
Beberapa komentar menonjol dari platform digital menggambarkan keresahan tersebut:
Aang Wahyu Setiadi: Mengingatkan kejadian serupa di Gunung Slamet wilayah Banyumas pasca-kebakaran, di mana lahan hutan tiba-tiba berubah menjadi ladang sayur oleh oknum tertentu. “Bener Bos, memang kebanyakan seperti itu. Sudah banyak buktinya,” tulisnya.
Aditya Muhammad Gunawan: Mengkritik perilaku kontradiktif masyarakat. “Nanti kalau ada bencana alam menyalahkan pemerintah, padahal warganya sendiri tidak sadar akan pelestarian lingkungan.”
Kandar Bashira: Menyinggung sisi spiritual dan kearifan lokal. “Kalau manusia di sekitar lereng Gunung Slamet tidak segera bertaubat, sedikit demi sedikit ramalan Jayabaya (tentang bencana) akan terbukti.”
Dilema Penggarap dan Sistem Hutan
Di sisi lain, muncul pula perspektif mengenai pola kerjasama lahan. Ada anggapan bahwa skema “penjarangan” atau pemanfaatan lahan bekas tebangan sering kali menempatkan masyarakat pada posisi yang rentan. Namun, dalam kasus Hutan Lindung Petak 24 ini, fokus utamanya adalah pemulihan fungsi lindung yang tidak boleh diganggu gugat demi keselamatan warga Brebes secara luas.
Hingga berita ini diturunkan, pihak terkait diharapkan segera mengambil langkah tegas agar aksi perusakan hutan lindung ini tidak terus berulang dan memicu bencana yang lebih besar di masa depan.
Reporter: Teguh
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
