BREBES, DN-II Potret buram kesejahteraan guru honorer di Indonesia kembali terkuak. Di Kabupaten Brebes, seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) membagikan kisah pilu sekaligus inspiratif tentang perjuangannya bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi demi menjaga nyala api pendidikan. (30/12/1025).
Pengabdian 8 Tahun dan Gaji “Seadanya”
Mengajar di sebuah SMP Negeri di bawah naungan Dinas Pendidikan nyatanya tidak menjamin kesejahteraan yang linier. Bagi guru PAI, terdapat kerumitan administratif karena koordinasi profesi mereka berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag).
Dalam percakapan hangat pada Selasa (30/12/2025), narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan ini mengungkapkan realita pahit. Ia mengaku hanya menerima honor murni dari pihak sekolah sebesar Rp300.000 per bulan. Angka ini sangat kontras dengan beban kerja mendidik puluhan siswa setiap harinya.
“Gaji honorer dari sekolah memang sangat kecil. Saya sudah mengabdi sekitar 7 sampai 8 tahun, dan hingga kini honornya masih Rp300.000 per bulan,” ungkapnya dengan nada getir.
Lebih ironis lagi, ia sempat menceritakan timpangnya pendapatan dengan pengeluaran pendidikan. Di saat honornya hanya ratusan ribu, biaya kuliah yang harus ia tempuh mencapai Rp1,5 juta per bulan. Sebuah angka yang secara logika sulit dipertemukan, namun nyata terjadi.
Secercah Harapan di Tahun Baru
Setelah bertahun-tahun bersabar, secercah harapan mulai muncul melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Setelah menuntaskan studi PPG yang dibiayai oleh Kemenag Brebes, ia kini tengah bersiap menyelesaikan proses administrasi sertifikasi.
Jika seluruh proses di Kemenag Brebes berjalan lancar, ia berpeluang mendapatkan tunjangan sertifikasi sebesar Rp2 juta per bulan mulai Januari mendatang. Namun, tunjangan ini menuntut komitmen tinggi: kewajiban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu sesuai regulasi pusat.
“Panggilan Jiwa di Atas Materi”
Muncul pertanyaan besar: mengapa ia tetap bertahan di tengah kondisi ekonomi yang mencekik? Baginya, menjadi guru bukan sekadar pekerjaan untuk mencari nafkah, melainkan sebuah pengabdian.
“Memang cita-cita saya dari dulu ingin jadi guru. Ada kepuasan batin yang tidak bisa dinilai dengan uang saat melihat anak-anak belajar. Kalau bukan jadi guru, mungkin saya hanya jadi karyawan biasa,” tuturnya optimis.
Tantangan Geografis dan Administrasi
Perjuangan guru honorer ini belum usai. Selain harus memenuhi jam mengajar yang padat, ia juga harus menghadapi tantangan mobilitas. Jarak antara sekolah tempatnya mengabdi dengan kantor Kemenag yang cukup jauh menuntut tenaga dan biaya ekstra dalam mengurus administrasi setiap bulannya.
Kisah ini hanyalah satu dari ribuan potret guru honorer di Indonesia yang sedang bertaruh nasib lewat jalur sertifikasi. Di tengah keterbatasan finansial, mereka tetap berdiri tegak di depan kelas, memastikan karakter dan spiritualitas generasi bangsa tetap terjaga.
Reporter: Teguh
Editor: Casroni
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
