Brebes, DN-II Pelaksanaan ibadah haji setiap tahun selalu menghadirkan catatan penting mengenai kedisiplinan jemaah dan efektivitas petugas di lapangan. Berdasarkan pengalaman dan evaluasi, beberapa poin krusial perlu menjadi perhatian serius agar pelaksanaan rukun Islam kelima ini dapat berjalan lancar, aman, dan mabrur, khususnya bagi jemaah asal Indonesia.
Hal ini sejalan dengan pandangan Tangguh Bahari, S.H., yang menunaikan ibadah haji pada tahun 2006, yang menekankan bahwa suksesnya haji tidak hanya terletak pada individu, tetapi pada kepatuhan kolektif. (5/12/2025).
1. Prioritas Keselamatan: Kepatuhan Jadwal Melontar Jumrah
Isu keselamatan menjadi sorotan utama, terutama terkait dengan ketidakpatuhan sebagian jemaah terhadap jadwal melontar jumrah (Jamarat) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia.
Jadwal yang disarankan, yakni setelah waktu Zuhur, dirancang dengan alasan mitigasi risiko. Pengaturan waktu ini bertujuan meminimalkan potensi kecelakaan, mengingat waktu Duha (sebelum Zuhur) merupakan puncak kepadatan area Jamarat oleh jemaah dari berbagai negara, yang umumnya memiliki postur tubuh lebih besar.
“Haji adalah soal penyikapan, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain dan jemaah, jangan egois,” demikian pesan inti yang harus dipegang.
Kepatuhan terhadap jadwal adalah wujud nyata sikap kolektif untuk menjaga keselamatan seluruh rombongan. Memaksakan diri melontar di luar jadwal aman justru mencerminkan sikap kurang mengedepankan kemaslahatan bersama dan meningkatkan risiko bagi diri sendiri serta kelompok.
2. Disiplin Seragam dan Semangat Kebersamaan Kelompok
Penggunaan Pakaian Seragam Haji (Batik) yang disediakan Pemerintah Indonesia memiliki tujuan vital: sebagai alat identifikasi cepat. Seragam ini memungkinkan petugas dan anggota rombongan untuk mengidentifikasi dan mempersatukan kembali jemaah yang terpisah di tengah lautan manusia.
Sayangnya, semangat kebersamaan ini seringkali terkikis oleh sifat individualis sebagian jemaah yang terpisah dari rombongan karena ingin buru-buru atau mengabaikan panduan kelompok. Padahal, bergerak dalam kelompok yang terorganisir, didukung oleh seragam sebagai penanda, adalah kunci keselamatan dan efisiensi pergerakan di Tanah Suci.
3. Isu Logistik dan Kedisiplinan Penggunaan Fasilitas
Beberapa catatan terkait fasilitas dan logistik menyoroti pentingnya kedisiplinan jemaah dalam menggunakan layanan yang disediakan:
Penyalahgunaan Fasilitas Hotel: Terjadi kasus di mana jemaah meminta penggantian selimut yang dianggap kurang layak, namun selimut baru tersebut justru dibawa pulang alih-alih digunakan. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan hak dan kebutuhan jemaah lain.
Pengelolaan Jatah Makanan (Katering): Makanan katering memiliki batas waktu konsumsi (self-life) yang ketat (misalnya, makan siang maksimal pukul 15.00) untuk menghindari risiko keracunan atau gangguan pencernaan. Kebiasaan menunda makan untuk dikonsumsi di sore/malam hari adalah praktik berbahaya yang harus dihindari demi kesehatan.
Jatah Buah: Terkadang jemaah tidak proaktif mengambil jatah buah harian di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina), atau sebaliknya, mengumpulkannya terlalu banyak. Mengingat buah dan makanan tidak boleh dibawa kembali ke Indonesia, konsumsi di tempat sesuai jatah adalah praktik yang paling bijak dan efisien.
4. Evaluasi Kinerja Tenaga Pendamping Haji Daerah (TPHD)
Efektivitas Tenaga Pendamping Haji Daerah (TPHD) menjadi isu yang memerlukan perhatian serius. Fungsi TPHD dinilai seringkali tidak maksimal, bahkan muncul anggapan bahwa mayoritas TPHD (yang umumnya adalah pejabat Eselon II/Kepala Dinas) cenderung “riko” atau sulit diajak bekerja sama secara setara dengan pembimbing haji dari Kementerian Agama (Kemenag).
Saran Perbaikan Struktur TPHD:
Perubahan Level Jabatan: Jika TPHD tetap dipertahankan, disarankan agar yang ditunjuk adalah pejabat Eselon IV ke bawah. Hal ini untuk memastikan kesetaraan dan kemudahan koordinasi di lapangan, sehingga tidak ada hambatan “senioritas” dalam melayani jemaah.
Wacana Penghapusan: Beberapa pihak bahkan berpendapat TPHD sebaiknya dihilangkan. Alasannya, fungsi maksimal pendampingan dan pelayanan inti justru diemban oleh Ketua Rombongan, Ketua Kloter, dan Ketua Kelompok. TPHD dinilai lebih banyak “berjalan-jalan” ketimbang berfokus pada pelayanan inti jemaah.
5. Apresiasi Kinerja Petugas Kemenag (Kloter)
Di sisi lain, kinerja Petugas Kemenag (yang tergabung dalam Kloter) dinilai berfungsi maksimal dan menjadi tulang punggung pelayanan haji. Mereka melaksanakan tugas utamanya, meliputi:
Mendampingi jemaah secara intensif sejak kedatangan hingga kepulangan.
Mengingatkan jemaah untuk beristirahat dan menjaga kesehatan.
Memberikan pendampingan saat berihram, tawaf, sa’i, dan seluruh rangkaian ibadah haji.
Menjelaskan secara rinci jadwal dan persiapan rangkaian ibadah utama di Mekah (khususnya 6-11 Dzulhijjah/puncak haji).
Keberadaan petugas Kemenag Kloter ini sangat vital dalam memastikan setiap tahapan ibadah haji dapat diikuti jemaah dengan benar, aman, dan terarah.
Pelaksanaan ibadah haji yang mabrur memerlukan sinergi antara kepatuhan jemaah terhadap aturan keselamatan dan logistik, serta efektivitas seluruh elemen petugas di lapangan. Dengan peningkatan disiplin kolektif jemaah dan evaluasi ulang terhadap struktur pendampingan (khususnya TPHD), diharapkan pelayanan haji Indonesia di masa mendatang dapat mencapai standar keselamatan dan kenyamanan yang lebih optimal.
Red/Teguh
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
