KUNINGAN, DN-II Polemik pembangunan Hotel Arunika kembali menuai sorotan tajam, menguak dugaan lemahnya penegakan hukum dan kelalaian prosedur perizinan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kuningan.
Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI) melalui ketuanya, Manap Suharnap, menyampaikan kritik keras terhadap Pemda Kuningan yang dinilai tidak berani dan tidak tegas dalam menindak pelanggaran pembangunan tersebut.
Ketidaktegasan Pemda dalam Menyebut Pelanggaran Izin
Manap Suharnap menegaskan bahwa pernyataan Bupati Kuningan baru-baru ini tidak menyentuh inti persoalan hukum. Bupati, alih-alih secara eksplisit menyebutkan pelanggaran izin pembangunan Hotel Arunika, justru hanya menyebut penghentian sementara di โarea huluโ.
โBupati tidak memiliki keberanian menyebut Arunika, apalagi memberikan sanksi terhadap pemiliknya. Ada apa dengan Bupati?โ tegas Manap pada Sabtu (6/12/2025).
FORMASI menilai sikap ini bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan kewajiban pengawasan yang melekat pada Kepala Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang), terutama dalam konteks pengendalian pemanfaatan ruang yang harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sorotan Perizinan dan Peran Dinas PUPR
Kecurigaan publik semakin menguat menyusul pernyataan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) yang terkesan mengambang dengan menyebut “katanya pemilik Arunika tengah mengajukan izin”.
โBagaimana mungkin sekelas Kepala Dinas PUPR tidak tahu proses perizinan pembangunan hotel sebesar itu? Kalau hanya โkatanyaโ, lalu siapa yang punya kewenangan mengeluarkan izin? Bukankah PUPR memiliki otoritas dalam proses penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang merupakan turunan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung?โ kritik Manap.
Ketidakjelasan status izin ini, menurut FORMASI, dapat mengindikasikan pelanggaran terhadap Pasal 7 Ayat (1) UU No. 28 Tahun 2002 yang menyatakan setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis, yang salah satunya dibuktikan dengan PBG. Pembangunan tanpa izin yang sah berpotensi dikenai sanksi administratif hingga pembongkaran.
Pelanggaran Lingkungan Hidup (Cut and Fill Tanpa AMDAL)
Sorotan berikutnya tertuju pada Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kuningan. Kepala Dinas LH saat mendampingi Bupati dalam inspeksi mengakui bahwa aktivitas cut and fill (pemotongan dan penimbunan lahan) dilakukan tanpa dilengkapi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
โKadis LH bilang idealnya cut and fill dihentikan sambil mengurus dokumen. Pertanyaannya, kenapa baru sekarang bicara itu? LH sudah tahu tidak ada AMDAL, tapi kegiatan dibiarkan berjalan dan tidak dihentikan sejak awal,โ ujar Manap.
Menurut FORMASI, pembiaran ini merupakan kelalaian fatal dan melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Sesuai Pasal 22 Ayat (1) UU PPLH, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Tindakan cut and fill skala besar yang mengubah bentang alam dan ekosistem sangat mungkin masuk kategori ini. Pasal 109 UU PPLH bahkan menyebutkan sanksi pidana bagi penanggung jawab usaha yang melakukan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan.
FORMASI juga menilai rancu ketika LH membawa hasil kajian konsultan dari pihak pemohon sebagai dasar pemberian izin tanpa adanya analisa pembanding yang independen. Hal ini membuktikan lemahnya kontrol dan supervisi dinas terkait.
๐ข Tuntutan Tegas dan Desakan Penegakan Aturan
Manap Suharnap menyebut bahwa sikap Bupati, Sekda, PUPR, dan LH yang lamban dan tidak pasti dalam menangani Arunika, yang jelas-jelas menyalahi aturan, menunjukkan bahwa Pemda Kuningan tampak seperti “macan ompong” di rumahnya sendiri.
FORMASI menegaskan bahwa penghentian sementara tidak cukup dan tidak memenuhi rasa keadilan publik. Mereka menuntut:
Pencabutan seluruh izin terkait yang telah terbit (jika ada).
Penghentian total pembangunan hotel dan wisata tematik Arunika karena didirikan di atas dugaan pelanggaran hukum.
Penegakan penuh RTRW Kuningan 2011โ2031 yang harus dihormati sebagai instrumen hukum tata ruang.
Penjatuhan sanksi administratif dan/atau pidana sesuai ketentuan UU PPLH dan UU Penataan Ruang terhadap penanggung jawab usaha.
Tidak adanya toleransi terhadap dalih menanam ribuan bibit pohon sebagai kompensasi.
โJangan bicara bibit 2.178 pohon atau 1.000 bibit tambahan. Yang penting adalah pohon yang ditebang dan kerusakan yang sudah terjadi. Kerusakan nyata sudah terjadi, izin belum ada, tapi Bupati hanya menghitung bibit pohon. Itu narasi linglung,โ tegas Manap. Narasi tentang penanaman pohon dianggap mengaburkan fakta pelanggaran hukum dan kerugian ekologis yang telah terjadi.
FORMASI akan terus mengawal kasus Arunika sampai ada kejelasan sikap hukum dan tindakan tegas yang proporsional dari Pemda Kuningan. Masyarakat, ujarnya, tidak boleh dibiarkan menjadi saksi pembiaran pelanggaran atas nama kepentingan tertentu.
Tim Prima
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
