BREBES, DN-II Kasus dugaan perundungan dan tekanan yang dialami oleh seorang guru di SMPN 1 Bumiayu, dipicu oleh penolakan terhadap penunjukan pelaksana tugas (Plt) kepala sekolah baru, terus menjadi sorotan. Dilaporkan, empat oknum guru yang terlibat dalam aksi penolakan tersebut telah meminta maaf dan mengakui kesalahan mereka. (6/12/2025)
Desakan Hukum: Pengakuan Bersalah sebagai Bukti Kuat
Meskipun sudah ada permintaan maaf, pengakuan bersalah ini justru memicu desakan dari kalangan aktivis agar korban, Ibu Inna (nama guru yang dirujuk), tetap melanjutkan kasus ini ke ranah hukum. Langkah ini dinilai penting untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya insiden serupa.
Tangguh Bahari, S.H., seorang aktivis yang fokus pada isu pendidikan dan hukum, berpendapat bahwa pengakuan dari para terduga pelaku harus menjadi dasar kuat untuk proses hukum.
“Karena dia sudah meminta maaf dan mengakui telah berbuat salah atau membuat kegaduhan, itu sebaiknya Bu Inna melaporkan empat orang itu ke polisi,” ujar Tangguh Bahari. “Di dalam hukum pidana, pengakuan adalah salah satu bukti yang sangat kuat untuk dilanjutkan kepada pelaporan. Jadi jangan dibiarkan saja, nanti jadi preseden buruk.”
Ia menekankan bahwa membiarkan tindakan yang dikategorikan sebagai perundungan dan “membuat kegaduhan” tanpa konsekuensi hukum yang jelas akan menciptakan preseden negatif dalam lingkungan pendidikan.
Sikap Sekolah: Plt Kepala Sekolah Pilih Islah
Menanggapi desakan aktivis, Ina Purnamasari, S.Pd., M.Pd., Plt. Kepala Sekolah SMPN 1 Bumiayu, memilih jalur perdamaian atau Islah. Ia mengonfirmasi bahwa pihak-pihak yang terlibat telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
“Sudah melakukan Islah (perdamaian), tidak perlu melaporkan lagi ke pihak berwajib,” tegas Plt. Kepala Sekolah tersebut, mengindikasikan bahwa proses hukum tidak akan dilanjutkan oleh pihak sekolah.
Mencegah Konflik: Sorotan pada Dikpora dan Transparansi
Untuk mencegah konflik serupa terulang di institusi pendidikan, Tangguh Bahari memberikan sorotan tajam kepada Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Dikpora) terkait proses penunjukan pejabat dan kepala sekolah.
Menurutnya, penunjukan kepala sekolah harus didahului dengan sosialisasi dan komunikasi yang baik kepada para guru dan karyawan. Proses seleksi juga harus didasarkan pada kelayakan dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku.
“Jangan memaksakan diri, mentang-mentang dia misalnya orang dekatnya bupati, ring satu, atau orang dekatnya siapa. Enggak boleh seperti itu,” kritiknya.
Ia menjabarkan tiga pilar utama yang harus menjadi dasar penunjukan pejabat kepala sekolah:
Kapabilitas: Kemampuan manajerial dan kepemimpinan.
Akseptabilitas: Diterima dengan baik oleh lingkungan sekolah.
Kepatuhan: Sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Selain itu, transparansi di tingkat sekolah juga disorot. Kepala sekolah yang baru menjabat wajib bersikap terbuka, terutama mengenai penggunaan dana sekolah dan pungutan dalam bentuk sumbangan kepada guru, karyawan, dan orang tua/wali murid.
“Hal ini agar mereka tidak timbul curiga,” tutupnya, menegaskan bahwa transparansi adalah kunci untuk menjaga iklim kerja yang harmonis dan mencegah potensi konflik di masa depan.
Red/Teguh
Eksplorasi konten lain dari Detik Nasional.Com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
